Yeremia 38 Part 2 tentang "Yeremia terjebak dalam lumpur" Seri Nabi Besar by Febrian
27 November 2025
Image by Freepik.com
Yeremia 38 Part 2 tentang "Yeremia terjebak dalam lumpur" Seri Nabi Besar
Shaloom Bapak Ibu Saudara/i yang terkasih dalam Kristus Yesus. Dalam Kesempatan ini kita akan merenungkan bersama firman Tuhan mengenai Bagaimana Yeremia dibuang ke dalam sumur yang berisi lumpur dan apa makna Tuhan mengizinkan itu terjadi. Semoga kita semua bisa mendapat berkat dari firman Tuhan tersebut. Kiranya Tuhan Yesus memberkati.
Yeremia 38 <-- Klik di sini untuk membaca seluruh ayat.
Hari sebelumnya kita sudah mempelajari bagaimana Allah mengajar kita dalam Yeremia 38 Part 1. Silakan baca di sini.
Dari ayat bacaan di atas, dapat kita uraikan sebagai berikut:
2. Yeremia dibuang ke dalam lumpur
Yeremia 38:7-13, 22 [New English Translation]
Nabi Yeremia dibuang ke dalam sumur yang tidak ada airnya, tetapi berisi lumpur. Sebetulnya ini juga adalah perintah dari raja Zedekia, setelah orang-orang yang membenci Yeremia memohon untuk membunuhnya.
Sumur tempat Sefaca bin Matan, Gedalya bin Pasyhur, Yukhal bin Selemya dan Pasyhur bin Malkia membuang Yeremia adalah milik Pangerah Malkia. Di sumur itu tidak ada air,
Dalam ayat di atas, Allah menegur bangsa Israel yang bagaikan terperosok ke dalam lumpur, namun tidak ada kerajaan lain yang mau menolong mereka. Ini terjadi dengan raja Firaun dari Kerajaan Mesir yang dimintai pertolongan, ternyata meninggalkan Yerusalem.
Yeremia 37:5-8
Adapun tentara Firaun telah berangkat keluar dari Mesir; mendengar kabar itu maka orang-orang Kasdim yang mengepung Yerusalem angkat kaki dari Yerusalem.
Lalu datanglah firman TUHAN kepada nabi Yeremia, bunyinya:
"Beginilah firman TUHAN, Allah Israel. Kepada raja Yehuda, yang menyuruh kamu kepada-Ku untuk meminta petunjuk, harus kamu katakan begini: Lihat, tentara Firaun yang telah berangkat keluar untuk membantu kamu akan kembali ke negerinya, ke Mesir. 37:8 Tetapi orang-orang Kasdim akan datang kembali memerangi kota ini, merebutnya dan menghanguskannya dengan api.
Raja Zedekia mengandalkan Mesir yang diharapkan membantu, tetapi Nubuat Tuhan memastikan mereka tidak akan membantunya, bahkan sebaliknya akan meninggalkan mereka sendirian. Ini bagaikan seseorang yang terperosok ke dalam lumpur, namun orang yang diharapkan tidak mau menolong.
Bagaimana dalam kehidupan kita saat ini, apakah anda juga sedang menghadapi situasi mirip dengan yang dihadapi oleh bangsa Yehuda? Terjerumus ke dalam lumpur namun tidak ada yang menolong, bahkan orang yang diharapkan menjadi penolong, malah meninggalkan sendirian. Situasi seperti itu sangat membuat tertekan yang menyebabkan depresi.
Ada suatu kisah yang menguatkan kejadian itu:
Kisah itu adalah kisah Paulus ketika ia pertama kali membela dirinya di pengadilan Roma.
2 Timotius 4:16-18
Pada waktu pembelaanku yang pertama tidak seorangpun yang membantu aku, semuanya meninggalkan aku--kiranya hal itu jangan ditanggungkan atas mereka--, tetapi Tuhan telah mendampingi aku dan menguatkan aku, supaya dengan perantaraanku Injil diberitakan dengan sepenuhnya dan semua orang bukan Yahudi mendengarkannya. Dengan demikian aku lepas dari mulut singa. Dan Tuhan akan melepaskan aku dari setiap usaha yang jahat. Dia akan menyelamatkan aku, sehingga aku masuk ke dalam Kerajaan-Nya di sorga. Bagi-Nyalah kemuliaan selama-lamanya! Amin.
Paulus menceritakan pengalaman itu dalam 2 Timotius 4:16 di atas. Ia menempuh perjalanan panjang sebagai rasul yang setia, mengorbankan seluruh hidupnya untuk Injil, namun ketika ia berdiri untuk membela diri di hadapan pengadilan yang menentukan hidup dan matinya, ia justru menemukan dirinya sendirian. Tidak ada satu pun rekan pelayanan, tidak ada saudara seiman, tidak ada tokoh gereja mula-mula yang mendampingi. Mereka yang selama ini bersama dia dalam pelayanan—menulis surat, mengunjungi jemaat, dan bekerja keras di lapangan—semuanya tidak muncul.
Pada saat itu, Paulus bukan hanya seorang tahanan. Ia adalah seorang lanjut usia, lelah, babak belur secara fisik, dan secara manusiawi berhak berharap ada seseorang berdiri di sampingnya. Namun justru saat itulah ia merasakan kesendirian yang paling dalam. Ia menyebutnya sebagai sebuah “peninggalan”. Orang menduga ia dapat selamat bila ada saksi atau pembela dari komunitas Kristen, tetapi pintu ruang sidang itu akhirnya membuka kenyataan yang sunyi: ia menghadapi penguasa Roma seorang diri.
Namun kesunyian itu tidak menjadi akhir cerita. Paulus menambahkan bahwa sekalipun semua manusia meninggalkannya, Tuhan sendiri berdiri di sisinya dan memberi kekuatan. Ia dibiarkan sendirian oleh manusia, tetapi tidak oleh Tuhan. Kekuatan yang memampukan dia berbicara dalam persidangan berasal dari kehadiran ilahi itu, yang tidak tampak bagi orang lain tetapi nyata bagi dirinya.
Kisah ini menjadi gambar yang jujur tentang pengalaman manusia: ada titik-titik hidup di mana harapan pada seseorang ternyata runtuh, ada saat ketika manusia yang kita anggap akan setia justru mundur, entah karena takut, malu, atau tidak sanggup. Namun dalam perikop itu tampak satu garis emas: Tuhan tidak pernah mundur. Kesendirian manusia bukanlah kesendirian di hadapan-Nya.
Kisah Paulus ini sering menjadi cermin bagi orang-orang percaya yang sedang berada dalam tekanan besar, ketika dukungan manusia tidak kunjung datang. Dalam pengalaman Paulus, kesepian bukanlah tanda ditinggalkan oleh Tuhan, melainkan ruang di mana kehadiran Tuhan justru terasa paling jelas dan paling memerdekakan.
Ada kisah lainnya dalam Perjanjian Lama yaitu kisah Yusuf putra Yakub dalam Kejadian 40:
Yusuf dibawa ke Mesir sebagai budak—seorang remaja yang oleh keluarganya sendiri dianggap sebagai beban yang harus disingkirkan. Ia dijual, dipisahkan dari rumahnya, dan hidup di negeri asing yang tidak mengenal bahasa maupun imannya. Namun bahkan dalam keadaan itu, ia bekerja dengan setia di rumah Potifar. Ketika fitnah istri Potifar datang, ia tidak punya siapa pun yang membelanya. Fitnah itu diterima tanpa pemeriksaan jujur, dan Yusuf langsung diseret ke penjara. Penjara Mesir pada masa itu bukan tempat yang sekadar gelap; itu adalah ruang yang memutus nama seseorang dari dunia luar. Dalam catatan hidup manusia, Yusuf sudah selesai.
Namun di tempat itu, justru ada dua tokoh yang menjadi bagian dari kisah penyertaan Allah: juru minuman dan juru roti raja. Keduanya bermimpi, dan Yusuf—yang tidak memiliki kuasa apa pun secara hukum—memberikan penafsiran yang tepat. Ia menafsirkan bahwa juru minuman akan dipulihkan dan juru roti akan dihukum. Kepada juru minuman ia menitipkan satu permintaan yang sederhana, permintaan yang sangat manusiawi: ingatlah aku ketika engkau berhadap-hadapan dengan Firaun kembali. Seseorang yang terkurung di ruang gelap hanya ingin sebuah suara di luar sana yang berkata, “Aku tidak melupakan engkau.”
Namun Alkitab mencatat dengan nada yang sunyi: juru minuman itu tidak mengingat Yusuf, malah melupakannya. Lupa di sini bukan sekadar hilangnya nama dari ingatan; ini adalah putusnya kesempatan satu-satunya bagi Yusuf untuk keluar dari penjara. Ia telah menjadi penolong bagi orang lain, tetapi ketika ia sendiri memerlukan pertolongan, tidak ada satu pun nama yang bersedia berdiri untuknya. Bapak dapat merasakan pahitnya keadaan itu: Yusuf menunggu hari demi hari, mungkin mendengar langkah para penjaga dan berharap salah satunya membawa kabar pembebasan, tetapi tidak ada apa pun selain rutinitas penjara.
Meski demikian, kisah ini tidak ditutup dengan kesunyian. Dua tahun kemudian, ketika Firaun bermimpi dan tidak ada seorang ahli pun di Mesir yang mampu menafsirkan maknanya, barulah juru minuman itu “teringat”. Seolah-olah ia baru membuka laci ingatannya yang paling berdebu, di mana nama Yusuf dibiarkan terlipat tanpa diperhatikan. Nama itu akhirnya melangkah keluar dari penjara, bukan karena manusia ingat dengan baik, tetapi karena waktu Allah tiba.
Kesendirian Yusuf menjadi tempat munculnya karya Tuhan yang diam tetapi tegas. Ia ditinggalkan oleh saudara, difitnah oleh majikan, dilupakan oleh rekan penjara—namun tidak sekali pun ditinggalkan oleh Allah. Kesendirian yang tampaknya sia-sia itu justru menjadi jalan menuju kedewasaan rohani, keteguhan karakter, dan pada akhirnya menjadi alat penyelamatan seluruh keluarganya.
Kisah Yusuf menunjukkan bahwa kadang-kadang Allah membiarkan manusia duduk dalam ruang sepi agar Ia sendiri yang membuka pintu pada saat yang tepat. Dari penjara yang sunyi itu Yusuf keluar bukan sebagai korban nasib, tetapi sebagai pribadi yang dipersiapkan untuk memikul tugas besar—pemulihan keluarga dan penyelamatan bangsa.
Dari ayat bacaan kita hari ini dalam Yeremia 38:7-13, kita dapat mempelajari betapa Allah rindu setiap manusia tidak mengandalkan siapapun yang ada di alam semesta ini, selain kepada-Nya!! Allah sumber kekuatan dan pertolongan setiap orang. Tidak boleh seseorang pun menggantungkan harapannya selain kepada TUHAN, Allah Maha Kuasa.
Jadi, jika kita saat ini berada dalam "lumpur" pencobaan, masalah, dosa, kejahatan, kesulitan dan segala sesuatu yang menghimpit kita, maka jalan satu-satunya adalah rendahkan diri, tengadahkan wajah kita kepada Allah dan memohon lah pada-Nya belas kasihan, agar Ia menolong kita dari segala kesulitan itu. Semoga Tuhan memberikan kita jalan keluar menuju jalan keselamatan-Nya.
Ketika aku dalam kesesakan, aku berseru kepada TUHAN, kepada Allahku aku berseru. Dan Ia mendengar suaraku dari bait-Nya, teriakku minta tolong masuk ke telinga-Nya.
2 Samuel 22:1
Komentar
Posting Komentar