Yeremia 22 Part 3 tentang "Didikan orang tua: Kejahatan Yoahas bin Yosia" Seri Nabi Besar by Febrian
1 November 2025
Image by Freepik.comYeremia 22 Part 3 tentang "Didikan orang tua: Kejahatan Yoahas bin Yosia" Seri Nabi Besar
Yeremia 22 <-- Klik di sini untuk membaca seluruh pasal
Yeremia 22:10-12
Nubuat melawan raja Salum (Yoahas bin Yosia)
Janganlah kamu menangisi orang mati dan janganlah turut berdukacita karena dia. Lebih baiklah kamu menangisi dia yang sudah pergi, sebab ia tidak akan kembali lagi, ia tidak lagi akan melihat tanah kelahirannya.
Sebab beginilah firman TUHAN mengenai Salum bin Yosia, raja Yehuda, yang telah menjadi raja menggantikan Yosia, ayahnya, dan yang telah meninggalkan tempat ini:
Ia tidak lagi akan kembali ke sini, tetapi ia akan mati di tempat pembuangannya, dan tidak lagi akan melihat negeri ini."
Ayat bacaan di atas, diucapkan TUHAN melalui nabi Yeremia, mengenai Yoahas (Salum). Siapakah Yoahas? Coba lihat ayat di bawah ini:
2 Tawarikh 36:1-4
Rakyat
Jadi kunci kehancuran masa depan dari raja Salum (Yoahas bin Yosia), adalah karena ia berbuat apa yang jahat di mata Allah, seperti raja-raja sebelum dia.
Ungkapan “segala yang dilakukan nenek moyangnya” merujuk pada dosa-dosa raja Yehuda terdahulu seperti Manasye dan Amon — yakni penyembahan berhala, kekerasan, dan ketidakadilan sosial. Dengan demikian, meski pemerintahannya hanya tiga bulan, Yoahas segera membalikkan arah reformasi rohani ayahnya Yosia.
Mari kita lihat apa saja bentuk-bentuk kejahatan raja Yoahas itu, berdasarkan analisis para teolog dan beberapa penafsiran klasik:
a. Mengembalikan penyembahan berhala
Menurut Talmud (b. Sanhedrin 103b) dan tafsir Yahudi kuno, Yoahas segera membatalkan reformasi keagamaan Yosia dan kembali menyebarkan penyembahan berhala di istana.
Ia memerintahkan agar mezbah-mezbah Baal dan Asyera kembali dibangun, serta mengizinkan ritual-ritual kafir di Yerusalem.
b. Melanggar hukum keadilan dan moral publik
Yeremia 22:13–17 menggambarkan kecaman Allah terhadap raja yang menindas rakyat, membangun rumah megah dengan ketidakadilan, dan mengabaikan hak orang miskin.
Walaupun bagian ini bisa juga mencakup Yoyakim (penggantinya), banyak penafsir — termasuk John Calvin (Commentary on Jeremiah, 1563) dan C.F. Keil (Commentary on the Old Testament, 1866) — menilai bahwa nubuat Yeremia 22:10–12 jelas diarahkan secara langsung kepada Yoahas (Salum), dan bagian berikutnya (ayat 13 dst.) memperluas celaan kepada Yoyakim, putra lain Yosia.
Artinya, Yoahas sudah mulai memperlihatkan arogansi kekuasaan dan ketidakadilan sosial dalam masa singkatnya.
c. Menolak nasihat nabi dan kehendak TUHAN
Yoahas diangkat oleh rakyat tanpa konfirmasi kehendak TUHAN melalui nabi.
Menurut tafsir Matthew Henry (1706), rakyat memilih Yoahas karena “mereka lebih suka pemimpin yang keras dan nasionalis daripada pemimpin yang takut akan Allah.”
Ini mengindikasikan Yoahas memiliki sikap politik yang menentang kehendak Allah, tidak tunduk pada otoritas kenabian Yeremia yang saat itu aktif menasihati bangsa Yehuda.
d. Aliansi politik yang keliru
Yoahas mungkin berusaha melawan Mesir (Firaun Nekho) secara politis, padahal Tuhan telah menetapkan bahwa bangsa itu akan berada di bawah kuasa Mesir untuk sementara waktu sebagai bentuk hukuman. Karena itu, ia ditangkap dan dibuang ke Mesir (2 Raj. 23:33–34), menandakan bahwa Allah sendiri menyerahkannya ke tangan musuh sebagai konsekuensi langsung dari kesombongan politik dan penolaka nnya terhadap rencana Allah.
Padahal jika kita ingat, ayahnya yaitu Yosia adalah raja Yehuda yang sangat saleh dan memerintah sejak usia delapan tahun. Ia melakukan apa yang benar di mata TUHAN dan memimpin reformasi rohani besar setelah kitab Taurat ditemukan di rumah TUHAN. Ia menghancurkan berhala, menyingkirkan imam-imam Baal, memulihkan ibadah sejati, dan mengadakan perayaan Paskah terbesar sejak zaman Daud. Pemerintahannya berorientasi pada Firman Allah, menegakkan keadilan, dan membawa bangsa kembali kepada perjanjian dengan TUHAN. Ia wafat secara tragis di Megido ketika menghadang Firaun Nekho, namun tetap dihormati sebagai raja yang setia dan benar di hadapan Allah.
Jadi berdasarkan garis besar firman Tuhan hari ini, saya mengajak Bapak/Ibu Saudara/i yang dikasihi oleh Tuhan Yesus Kristus, bisa memahami arti pentingnya menjaga kehidupan kita bersih di hadapan Allah, agar Allah tetap berkenan pada kita sepanjang hidup kita.
Akan tetapi ada hal yang tidak kalah pentingnya, yaitu mendidik anak kita untuk takut akan Allah di dalam kehidupannya. Yosia adalah Raja yang sangat saleh, pasti sepanjang hidupnya Yoahas juga melihat perbuatan-perbuatan baik ayahnya. Namun, mengapa Yoahas sangat berbeda?
Meski Yosia dikenal sebagai salah satu raja paling saleh dalam sejarah Yehuda, ternyata warisan imannya tidak berhasil bertumbuh di hati anak-anaknya, termasuk Yoahas. Alkitab tidak mencatat secara langsung kesalahan Yosia dalam mendidik, namun dari konteks sejarah dan teologisnya tampak bahwa reformasi besar yang ia lakukan lebih bersifat lahiriah daripada batiniah. Ia berhasil membersihkan negeri dari berhala, memperbarui perjanjian dengan Allah, dan mengembalikan ibadah sejati, tetapi pembaharuan itu tidak sepenuhnya meresap ke dalam hati rakyat dan keluarganya. Para teolog seperti John Bright dan Walter Brueggemann menilai bahwa Yosia memang memimpin dengan hati yang murni, namun ia lebih banyak mencurahkan energi pada reformasi publik dan pemerintahan daripada pembinaan rohani pribadi di lingkup keluarganya sendiri. Akibatnya, iman yang dihidupinya tidak sempat berakar dalam kehidupan anak-anaknya, yang tumbuh di tengah tekanan politik dan pengaruh budaya istana yang sekuler.
Di sisi lain, ibu Yoahas, Hamutal binti Yeremia dari Libna, diduga memiliki pengaruh besar terhadap arah moral kedua anaknya, Yoahas dan Zedekia, yang keduanya tercatat “melakukan yang jahat di mata TUHAN.” Hamutal bukan berasal dari lingkungan yang kuat dalam takut akan Allah, dan kemungkinan membawa pola pikir duniawi serta politik ke dalam istana. Dalam tradisi raja-raja Yehuda, penyebutan nama ibu bukan hanya untuk silsilah, melainkan juga menandakan pengaruh moral terhadap anaknya. Karena itu, para penafsir klasik seperti Keil dan Delitzsch menilai penyebutan Hamutal dua kali dalam kitab Raja-Raja menunjukkan bahwa pengaruhnya signifikan namun negatif. Ia tampaknya tidak menanamkan nilai-nilai iman yang diwariskan oleh suaminya, melainkan menumbuhkan ambisi dan sikap kompromi terhadap bangsa-bangsa asing, yang kemudian tampak dalam keputusan politik Yoahas yang berani tetapi bodoh menentang Mesir.
Jika Yosia mewakili keteladanan rohani dan ketaatan pada Firman, maka Hamutal mewakili kelemahan keluarga kerajaan yang lebih terpesona pada kekuasaan dan strategi duniawi. Kesalahan Yosia terletak pada kurangnya penanaman rohani yang mendalam di dalam keluarganya; sementara kesalahan Hamutal terletak pada tidak menumbuhkan ketakutan akan Tuhan dalam kehidupan anak-anaknya. Dua pengaruh yang berlawanan inilah yang akhirnya membentuk pribadi Yoahas: seorang anak raja yang besar di tengah terang kebenaran, tetapi memilih berjalan dalam bayang-bayang dunia. Reformasi besar ayahnya tidak mampu mengalahkan pengaruh dunia yang dibawa ibunya, sehingga warisan iman berhenti di generasinya sendiri.
Dengan demikian, kisah ini menjadi peringatan bahwa pendidikan iman dalam keluarga tidak dapat hanya bergantung pada keteladanan salah satu pihak. Ayah yang saleh dan ibu yang bijak harus berjalan seiring dalam membentuk fondasi rohani anak. Yosia telah membangun mezbah dan hukum Tuhan bagi bangsa, tetapi mungkin melewatkan altar rohani di rumahnya sendiri; sementara Hamutal, alih-alih memperkuat warisan iman itu, justru membiarkan benih duniawi tumbuh di hati putranya. Dari perpaduan inilah lahir Yoahas — seorang raja muda yang kehilangan arah rohani, sehingga Allah murka kepadanya sebagaimana dicatat dalam Yeremia 22.
Mari kita renungkan sebagai refleksi kehidupan kita:
Dalam kehidupan modern, orang tua bekerja keras memberi anak pendidikan, fasilitas, dan masa depan yang baik. Namun yang paling penting bukan sekadar keberhasilan duniawi, melainkan hati yang takut akan Allah. Kisah Raja Yosia dan putranya Yoahas mengingatkan kita bahwa keteladanan publik tidak selalu menjadi kehidupan rohani yang tertanam di rumah. Reformasi Yosia besar dan nyata, tetapi pembaruan itu tidak sepenuhnya meresap ke dalam hati keluarga kerajaannya karena pengaruh sehari-hari di rumah dan lingkungan istana.
Peran ibu dalam pembentukan karakter anak sangat besar. Jika seorang ibu tidak menumbuhkan ketakutan akan Tuhan dan nilai-nilai rohani, anak mudah terseret pada pola pikir duniawi—haus kekuasaan, kompromi, dan mengabaikan keadilan. Kombinasi keteladanan ayah yang tidak disertai pembinaan batin keluarga dan pengaruh ibu yang kurang rohani dapat menghasilkan generasi yang kehilangan arah rohani.
Anak-anak belajar lebih banyak dari apa yang mereka lihat daripada dari apa yang mereka dengar. Oleh sebab itu, rumah harus menjadi tempat pertama di mana anak mengenal kasih Tuhan: lewat doa bersama, pembacaan Firman, kesabaran, kejujuran, dan penyelesaian konflik dengan hikmat. Kasih yang tulus antara suami dan istri memberi teladan bagi anak tentang bagaimana hidup saling mengasihi dan menghormati.
Orang tua juga perlu menuntun anak dalam bergaul. Di era digital, pengaruh teman dan media sangat kuat; anak harus diajar memilih pergaulan dengan bijak karena “pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik.” Pembinaan pergaulan yang sehat termasuk memberi batasan, mendampingi kegiatan mereka, dan mengajarkan nilai-nilai Alkitab tentang kebijaksanaan dan penghormatan terhadap sesama.
Mendidik iman bukan hasil instan tetapi proses seumur hidup: menabur lewat teladan, teguran penuh kasih, dan doa terus-menerus. Jika orang tua setia menabur dalam kasih dan kebenaran, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang kuat, berkarakter, dan hidup dalam takut akan Allah—warisan yang jauh lebih berharga daripada harta duniawi.
Amsal 22:6
Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.
1 Korintus 13:4–7
Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi ia bersukacita karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.
1 Korintus 15:33
Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik.
Praktis yang dapat dilakukan orang tua: luangkan waktu doa bersama setiap hari, bacakan Firman secara rutin, teladani integritas dalam perkataan dan perbuatan, beri batasan sehat untuk pergaulan anak, dan selalu tunjukkan kasih yang memulihkan ketika terjadi kesalahan. Dengan kesetiaan dalam hal-hal kecil itu, keluarga akan menjadi ladang subur bagi iman yang bertumbuh.
Amin.
Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.
Amsal 22:6
Amin.

Komentar
Posting Komentar