Yeremia 18 Tentang "Allah menciptakan segalanya baru" Seri Nabi Besar by Febriian
27 Oktober 2025
  Image by Dall-e Chat GPT OpenAI 
Yeremia 18 Tentang "Allah menciptakan segalanya baru" Seri Nabi Besar
Yeremia 18 <-- Klik di sini untuk membaca seluruh ayat
Yeremia 18:1-6 - Kedaulatan Ilahi dalam Pembentukan
Dari ayat-ayat di atas, kita lihat bahwa Allah memerintahkan Yeremia untuk menyaksikan seorang tukang periuk bekerja.
Yeremia 18:4
Apabila bejana, yang sedang dibuatnya dari tanah liat di tangannya itu, rusak, maka tukang periuk itu mengerjakannya kembali menjadi bejana lain menurut apa yang baik pada pemandangannya.
Gambaran ini adalah perumpamaan yang luar biasa tentang kedaulatan Allah atas manusia ciptaan-Nya. Seperti tanah liat di tangan tukang periuk, demikianlah kita di tangan-Nya. Jika tidak sesuai dengan kehendak Allah, maka manusia bisa dihancurkan dan dibentuk lagi sesuai dengan bentuk baru yang sesuai kehendak-Nya. Gagasan ini sejalan dengan ajaran John Calvin dalam Institutes of the Christian Religion (1536), bahwa manusia adalah ciptaan di tangan Allah, yang dapat dibentuk sesuai dengan kehendak-Nya yang sempurna.
Bangsa Israel dimurkai Allah karena ditegur Tuhan dan tidak mau bertobat. Allah masih baik tidak langsung menghukum tetapi memberi peringatan terlebih dahulu, tetapi mereka malah berbuat hal yang kurang ajar, menolak kebaikan Allah. Maka bagaikan periuk akan dihancurkan, kemudian akan dibentuk kembali menjadi suatu ciptaan baru yang jauh lebih baik.
Jadi bisa kita renungkan, sebagai berikut: Apakah kita, seperti tanah liat, bersikap lunak dan dapat dibentuk di hadapan Tuhan? Ataukah kita mengeraskan hati, menolak untuk dibentuk oleh tangan-Nya yang penuh kasih?
Yeremia 18:7-10 - Pertobatan yang Mengubah "Rencana" Allah
Ayat-ayat ini mengungkapkan prinsip ilahi yang menakjubkan: respons manusia mempengaruhi pelaksanaan kehendak deklaratif Allah. Ancaman penghakiman dapat dibatalkan oleh pertobatan, dan janji berkat dapat ditunda oleh pemberontakan.
Dalam bukunya The Prodigal God (2008), Timothy Keller menyoroti sifat Allah yang berbelas-kasih dan selalu terbuka untuk pertobatan. Meskipun tidak tepat menggunakan frasa ‘respons manusia mempengaruhi pelaksanaan kehendak deklaratif Allah’, tema relasi dinamis antara manusia dan Allah sangat ditekankan.
Jadi bisa kita renungkan, sebagai berikut: Prinsip ini memberi kita harapan yang besar. Tidak ada situasi yang terlalu buruk selama ada pertobatan. Sebaliknya, tidak ada janji yang dapat kita anggap remeh jika kita hidup dalam ketidaktaatan.
Yeremia 18:11-12 – Hati yang Menolak Dibentuk
Ketika Tuhan masih membuka kesempatan bagi bangsa Yehuda untuk bertobat, mereka justru menjawab dengan nada putus asa, “Tidak ada gunanya!” Mereka memilih berjalan dengan keinginan sendiri dan menutup hati dari panggilan kasih Tuhan. Inilah gambaran manusia yang keras hati—yang merasa tahu apa yang terbaik bagi dirinya, tetapi justru menjerumuskan dirinya ke jalan kebinasaan.
Gambaran ini sangat selaras dengan penjelasan John Stott, D.D., dalam bukunya “The Cross of Christ” (InterVarsity Press, 1986). Stott menulis bahwa dosa terbesar manusia bukan hanya melakukan kesalahan moral, tetapi “menolak Tuhan untuk menjadi Tuhan dalam hidupnya, dan memilih mengambil alih takhta itu bagi dirinya sendiri.” Sikap seperti inilah yang membuat seseorang sulit berubah, karena ia tidak lagi mau dibentuk atau dikoreksi oleh tangan Allah.
Bila hati sudah dikeraskan, manusia bisa menganggap panggilan Tuhan tidak lagi relevan, doa terasa hampa, dan hidup rohani kehilangan arah. Namun kasih Tuhan tidak berhenti di situ. Seperti tukang periuk yang sabar, Dia masih memanggil kita untuk kembali—asal kita mau membiarkan tangan-Nya membentuk ulang hidup kita.
Refleksi bagi kita hari ini: Di zaman modern ini, banyak orang yang merasa sudah cukup bijak dan mandiri, sehingga tidak lagi mau diarahkan oleh Tuhan. Tapi kemandirian tanpa ketaatan akan berakhir pada kehancuran batin. Tuhan ingin membentuk kita bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk menjadikan hidup kita indah dan berguna di tangan-Nya.
Yeremia 18:18-23 - Jeritan Hati yang Terluka
Bagian ini mencatat doa Yeremia yang penuh pergumulan, meminta keadilan dan pembalasan terhadap musuhnya. Doa ini dikenal sebagai doa kutukan atau imprecatory prayer—sebuah bentuk doa yang lahir dari hati yang sangat menderita, namun tetap menyerahkan segala sesuatu kepada Tuhan.
Pemahaman ini sejalan dengan penjelasan Dietrich Bonhoeffer dalam bukunya Psalms: The Prayer Book of the Bible (Augsburg Publishing House, 1940). Bonhoeffer menulis bahwa doa semacam ini bukanlah ungkapan kebencian pribadi, melainkan tindakan iman—yaitu mempercayakan penghakiman dan keadilan sepenuhnya ke tangan Allah. Dengan berdoa demikian, orang benar menolak untuk mengambil alih hak Tuhan dalam membalas, dan justru memilih menumpahkan luka hatinya kepada Sang Hakim yang adil.
Konteks penulisan buku ini sangat kuat: Bonhoeffer menulisnya di tengah kegelapan rezim Nazi, ketika kejahatan tampak menang dan banyak orang benar disiksa tanpa sebab. Dalam situasi itu, ia belajar bahwa doa semacam Yeremia bukanlah ekspresi dendam, melainkan jeritan iman seorang yang tetap percaya bahwa keadilan Allah akan dinyatakan pada waktunya.
Refleksi bagi kita hari ini: ketika hati dilukai dan keadilan terasa jauh, mudah bagi kita untuk tergoda membalas. Namun Yeremia mengajarkan jalan yang berbeda—menuangkan semua kepedihan kepada Tuhan, bukan kepada manusia. Di situlah kita belajar bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada kemampuan membalas, melainkan pada kesetiaan untuk tetap percaya bahwa Tuhan tidak pernah tinggal diam terhadap penderitaan umat-Nya.Jadi bisa kita renungkan, sebagai berikut: Ketika kita diperlakukan tidak adil, apakah kita langsung membalas, atau kita belajar untuk mencurahkan isi hati kita yang paling jujur kepada Tuhan dan mempercayakan keadilan kepada-Nya?
Berikut ini, adalah kesaksian hidup dari beberapa orang terkenal terkait dengan ayat firman Tuhan di atas:
Santo Agustinus dari Hippo dalam bukunya Confessiones (Pengakuan-Pengakuan), yang ditulis sekitar tahun 397–400 Masehi, menceritakan bagaimana dosa masa mudanya dan keinginan duniawinya membuat hidupnya gelisah dan jauh dari Allah. Ia bersaksi bahwa melalui penderitaan batin dan kehancuran moral itulah Allah menariknya kembali kepada pertobatan sejati dan kedamaian rohani. Dalam salah satu kalimat terkenalnya ia menulis, “Engkau telah menciptakan kami untuk diri-Mu, ya Tuhan, dan hati kami tidak akan tenang sebelum beristirahat di dalam Engkau.” (Confessiones, Buku I).
John Newton, mantan pedagang budak yang kemudian bertobat setelah hampir mati dalam badai di laut, menulis kisah hidupnya dalam An Authentic Narrative of Some Remarkable and Interesting Particulars in the Life of Mr. Newton (diterbitkan pada tahun 1764). Ia mengakui bahwa kehancuran hidupnya adalah akibat dari dosa dan kesombongannya sendiri, namun Allah dengan penuh belas kasihan menghancurkan kesombongannya dan membangun kembali hidupnya dari nol. Dari pengalaman itulah lahir lagu rohani terkenal “Amazing Grace.”
Charles W. Colson, penasihat Presiden Amerika Richard Nixon, menulis kisah hidupnya dalam buku Born Again (1976). Ia menceritakan bagaimana keterlibatannya dalam skandal Watergate menghancurkan nama baik, jabatan, dan kebanggaannya. Namun justru di tengah kehancuran itulah ia mengalami perjumpaan pribadi dengan Kristus, bertobat, dan dipakai Tuhan untuk mendirikan Prison Fellowship—pelayanan bagi para narapidana di seluruh dunia.
Ketiga tokoh ini adalah contoh nyata bahwa Allah tidak segan menghancurkan kehidupan lama manusia untuk membangunnya kembali menjadi ciptaan baru yang jauh lebih mulia.
Bentuklah kami menurut kehendak-Mu, ya Tuhan, sang Tukang Periuk agung. Lunakkanlah hati kami yang keras, agar kami dapat Kaubentuk menjadi bejana yang indah bagi kemuliaan-Mu.
Yeremia 18:6
Amin.

Komentar
Posting Komentar