Yesaya 58 Part 2 tentang "Menguduskan hari Sabat" Seri Nabi Besar by Febrian
16 September 2025
Yesaya 58 Part 2 tentang "Menguduskan hari Sabat" Seri Nabi Besar
Shaloom Bapak Ibu Saudara/i yang terkasih dalam Kristus Yesus. Dalam Kesempatan ini kita akan merenungkan bersama mengenai Bagaimana Allah merindukan kebersamaan umat-Nya menyembah dan memuji-muji nama-Nya di hari Sabat. Kiranya kita semua bisa mendapat berkat dari firman Tuhan tersebut. Tuhan Yesus memberkati.
Yesaya 58:13-14
13 Apabila engkau tidak menginjak-injak hukum Sabat dan tidak melakukan urusanmu pada hari kudus-Ku; apabila engkau menyebutkan hari Sabat "hari kenikmatan", dan hari kudus TUHAN "hari yang mulia"; apabila engkau menghormatinya dengan tidak menjalankan segala acaramu dan dengan tidak mengurus urusanmu atau berkata omong kosong, 14 maka engkau akan bersenang-senang karena TUHAN, dan Aku akan membuat engkau melintasi puncak bukit-bukit di bumi dengan kendaraan kemenangan; Aku akan memberi makan engkau dari milik pusaka Yakub, bapa leluhurmu, sebab mulut TUHANlah yang mengatakannya.
Kata “Sabat” berasal dari bahasa Ibrani שַׁבָּת (Shabbat) yang berarti “berhenti, beristirahat, atau berhenti bekerja.” Dalam tradisi Ibrani, hari Sabat bukan sekadar waktu luang atau jeda dari pekerjaan, tetapi merupakan tanda perjanjian antara Allah dengan umat-Nya (Kel. 31:13), saat manusia berhenti dari aktivitasnya dan mengarahkan hidup sepenuhnya kepada Allah, Sang Pencipta dan Penebus.
Sejak penciptaan dunia, Allah menetapkan pola ini. Dalam enam hari Ia menciptakan langit dan bumi, dan pada hari ketujuh Ia berhenti serta menguduskannya (Kej. 2:2–3). Hari ketujuh menjadi hari kudus yang mencerminkan perhentian Allah, sekaligus menjadi teladan bagi manusia untuk berhenti dari kesibukan duniawi dan menghormati Allah.
Selanjutnya, dalam Hukum Taurat, Allah memerintahkan bangsa Israel untuk menguduskan hari Sabat (Kel. 20:8–11; Ul. 5:12–14). Sabat dipandang sebagai tanda kasih Allah yang memerdekakan, mengingatkan bangsa itu bahwa mereka pernah menjadi budak di Mesir dan telah dimerdekakan oleh Tuhan. Tidak hanya itu, konsep Sabat diperluas dalam hukum mengenai tahun Yobel (Jubilee), yakni setiap tahun ke-50, ketika tanah beristirahat, orang miskin dipulihkan, dan para tawanan dibebaskan (Im. 25:10). Dengan demikian, Sabat bukan sekadar istirahat fisik, tetapi sebuah perwujudan keadilan, belas kasih, dan pembebasan.
Namun, dalam perjalanan sejarah, manusia sering kali memberontak dan melanggar Sabat. Nabi-nabi menegur bangsa Israel yang berjualan dan melakukan urusan pribadi pada hari Sabat (Neh. 13:15–18; Yer. 17:21–22). Peringatan ini menunjukkan bahwa melanggar Sabat berarti merendahkan kekudusan Allah dan menolak tanda perjanjian-Nya.
Ketika Yesus datang, Ia juga berhadapan dengan tuduhan bahwa Ia melanggar hukum Taurat tentang Sabat. Misalnya ketika Ia menyembuhkan orang sakit pada hari Sabat (Luk. 13:14–16; Yoh. 5:16–17). Namun Yesus menegaskan, “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat. Jadi Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat.” (Mrk. 2:27–28). Dengan demikian, Yesus menempatkan Sabat kembali pada makna sejatinya: hari untuk membawa pemulihan, kehidupan, dan belas kasih Allah bagi manusia.
Refleksi untuk zaman sekarang, banyak orang masih melanggar prinsip Sabat. Ada yang menganggap hari ibadah hanya rutinitas, ada yang mengisinya dengan bisnis atau urusan pribadi, sehingga mengabaikan kekudusan Allah. Padahal inti Sabat adalah menyatakan bahwa Allah adalah yang utama dalam hidup manusia. Menghormati hari ibadah berarti mengakui bahwa hidup, waktu, tenaga, dan hasil kerja kita semua berasal dari Allah dan untuk Allah.
Akhirnya, Kitab Wahyu memberikan gambaran eskatologis tentang Sabat kekal. Dalam Wahyu 21:3–4, Yohanes melihat visi bahwa Allah akan turun berdiam di tengah umat-Nya di langit baru dan bumi baru. Pada saat itu, umat Allah akan menikmati perhentian sejati bersama-Nya, tanpa lagi penderitaan, air mata, atau maut. Itulah Sabat yang sempurna, ketika Allah dan manusia menikmati persekutuan abadi di dalam kekudusan dan sukacita.
Sebab itu masih tersedia suatu hari perhentian,
hari ketujuh, bagi umat Allah.
Sebab barangsiapa telah masuk ke tempat perhentian-Nya,
ia sendiri telah berhenti dari segala pekerjaannya
sama seperti Allah berhenti dari pekerjaan-Nya.
Ibrani 4:9–10
Amin.
Komentar
Posting Komentar