Yesaya 5 tentang "Murka TUHAN terhadap kebun anggur-Nya" - Seri Nabi Besar by Febrian
28 Juni 2025
Yesaya 5 tentang "Murka TUHAN terhadap kebun anggur-Nya" Seri Nabi Besar
Shaloom Bapak Ibu Saudara/i yang terkasih dalam Kristus Yesus. Dalam Kesempatan ini kita akan merenungkan bersama mengenai Bagaimana TUHAN memberi peringatan kepada bangsa Israel yang melakukan pemberontakan kepada-Nya. Semoga kita semua bisa mendapat berkat dari firman Tuhan tersebut. Kiranya Tuhan Yesus memberkati.
Bagian I - Yesaya 5:1-7
Nyanyian tentang kebun anggur
Aku hendak menyanyikan nyanyian tentang kekasihku, nyanyian kekasihku tentang kebun anggurnya:
Bagian II - Yesaya 5:8-24
Peringatan tentang pelbagai keburukan
Bagian III - Yesaya 5:25-30
Bangsa asing sebagai alat murka TUHAN
Dalam bagian pertama dalam Pasal 5 dari kitab Yesaya ini, digambarkan penulis memandang TUHAN Allah Semesta Alam, sebagai Kekasihnya yang merasa sedih melihat kebun anggur kesayangan-Nya, yang dicangkulnya, ditanaminya dengan pokok anggur pilihan, dijaga, dinanti-Nya kebun itu agar menghasilkan buah anggur yang baik, tetapi yang dihasilkannya adalah buah anggur yang asam.
Kaum Israel adalah kebun anggur TUHAN dan orang Yehuda ialah tanam-tanaman kegemaran-Nya. Allah menantikan keadilan, tetapi hanya ada kelaliman, dinanti-Nya kebenaran tetapi hanya ada keonaran. Ini adalah kenyataan yang pahit, bahwa bangsa yang dikasihi Allah, diharapkan-Nya senantiasa berbuat kebajikan dan kesetiaan kepada-Nya, malah sebaliknya berbuat kejahatan.
TUHAN menjadi murka dan menebang pagar duri sekeliling kebun itu, sehingga kebun itu dimakan habis; temboknya dirobohkan sehingga kebun itu diinjak-injak; Ia akan menelantarkannya, tidak dirantingi dan tidak disiangi, sehingga tumbuh onak dan duri; bahkan Allah tidak memberi hujan atas kebun anggur itu. Betapa menyedihkan nasib kebun anggur itu tertimpa kedahsyatan Allah.
Murka Allah itu dapat dibuktikan dengan realitas sejarah pada zaman itu.
Pertama, pada masa Raja Uzia dan Yotam, Yehuda mengalami kemakmuran ekonomi dan kekuatan militer yang luar biasa, tetapi di balik itu terjadi penyalahgunaan kekuasaan, penindasan sosial, dan kesombongan rohani. Yesaya 1:23 menyebut para pemimpin sebagai pemberi suap yang tidak membela hak janda dan anak yatim. Ini selaras dengan kecaman dalam Yesaya 5:8–23 terhadap keserakahan, pesta pora, dan ketidakadilan.
Kedua, di masa Raja Ahas (735–715 SM), Yehuda menolak perlindungan Tuhan dalam menghadapi ancaman dari Aram dan Israel Utara. Sebaliknya, Ahas malah mempersembahkan anaknya dalam api dan menyembah dewa-dewa Asyur (2 Raja-raja 16:3). Hal ini menambah murka Allah karena pengkhianatan rohani bangsa itu.
Ketiga, kejatuhan Kerajaan Israel Utara ke tangan Asyur pada tahun 722 SM menjadi tanda nyata bahwa bangsa yang menolak Tuhan akan jatuh. Meski Samaria adalah kerajaan utara, peristiwa ini menjadi peringatan keras bagi Yehuda. Yesaya 5:26–30 menyebut tentang bangsa asing dari jauh yang akan dipakai Allah untuk menghukum umat-Nya—banyak penafsir mengaitkan ini dengan Asyur.
Nubuatan Nabi Yesaya tercatat dalam sejarah. Kebun anggur yang gagal mencerminkan keadaan Israel dan Yehuda yang lalim dan melakukan ketidakadilan. Seruan celaka terhadap ketamakan dan pesta pora mencerminkan kehidupan masyarakat yang menindas dan lupa Tuhan. Hingga pada akhirnya, Allah menurunkan hukuman-Nya melalui bangsa asing yaitu bangsa Asyur yang menyerang Israel tahun 722 SM, serta kemudian Babel kemudian menyerbu Yehuda tahun 586 SM.
Demikian terjadilah awal dari penderitaan yang dialami bangsa Israel dengan pembuangan ke tanah Kerajaan Babel. Pembuangan ke Babel adalah masa paling gelap dalam sejarah bangsa Israel. Setelah Yerusalem dihancurkan oleh Raja Nebukadnezar pada tahun 586 SM, Bait Suci dibakar habis, tembok-tembok kota diruntuhkan, dan sebagian besar rakyat dibawa ke negeri asing, yaitu Babel. Mereka bukan hanya kehilangan tanah air, tetapi juga pusat ibadah dan identitas mereka sebagai umat pilihan Allah.
Di negeri asing, mereka hidup sebagai tawanan dan budak. Banyak yang dijadikan buruh paksa, tanpa hak dan tanpa tanah. Mereka tidak bisa beribadah seperti sebelumnya karena Bait Suci sudah tidak ada. Rasa hancur dan kehilangan itu tergambar dengan jelas dalam Mazmur 137: "Di tepi sungai-sungai Babel, di sanalah kami duduk sambil menangis, apabila kami mengingat Sion." Penderitaan mereka bukan sekadar fisik, tapi juga psikologis dan rohani. Anak-anak mereka tumbuh tanpa tanah air, dan banyak orang mulai mempertanyakan: “Apakah Tuhan masih bersama kami?”
Kondisi ini menyebabkan krisis iman. Sebagian orang mulai mencampurkan iman mereka dengan penyembahan berhala Babel. Namun, di tengah kehancuran itu, Allah tidak meninggalkan umat-Nya. Ia mengutus nabi-nabi seperti Yehezkiel dan Daniel untuk menguatkan mereka. Yehezkiel menerima penglihatan bahwa kemuliaan Tuhan tidak terbatas pada Yerusalem. Daniel menunjukkan bahwa kesetiaan kepada Tuhan tetap mungkin, bahkan di istana Babel.
Di masa penderitaan ini pula, identitas rohani Israel dipulihkan. Mereka mulai menaruh perhatian besar pada Taurat, membangun kebiasaan berkumpul di sinagoge, dan mengembangkan harapan akan kedatangan Mesias. Di tanah asing itulah Tuhan memurnikan iman mereka dan menumbuhkan harapan akan pemulihan.
Sebagai refleksi bagi kita, bahwa kita yang sudah ditebus Tuhan Yesus Kristus dalam kematian-Nya di kayu salib, dituntut seperti bangsa Israel untuk menjadi kebun anggur yang menghasilkan buah yang manis dan menyenangkan, bukan buah anggur yang asam. Sesungguhnya Allah menciptakan manusia untuk melakukan perbuatan baik, bukan untuk berbuat kejahatan. Namun, kedagingan kita akibat dosa turunan itu lah yang seringkali menyeret kita ke dalam dosa.
Roma 13:14
Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus dan jangan pedulikan lagi keinginan-keinginan daging.
Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.
Yeremia 29:11
Amin.
Komentar
Posting Komentar