Yesaya 2 - TUHAN adalah Hakim segala bangsa - seri Nabi Besar by Febrian
25 Juni 2025
Yesaya 2 - TUHAN adalah Hakim segala bangsa - seri Nabi Besar
Shaloom Bapak Ibu Saudara/i yang terkasih dalam Kristus Yesus, hari ini kita akan mempelajari mengenai Murka TUHAN yang ditujukan-Nya kepada bangsa kesayangan yaitu Yehuda yang telah berkhianat kepada-Nya.
Kiranya kita diberi hikmat dan pengertian oleh TUHAN, Allah kita dalam memahami pembacaan firman-Nya kali ini. Tuhan Yesus memberkati.
PASAL 1-39 - BAGIAN PERTAMA
PASAL 1-12 NUBUAT TENTANG YEHUDA DAN YERUSALEM
Yesaya 2:1-22
Gunung Sion, pusat perdamaian bangsa-bangsa (Yesaya 2:1-21)
Firman yang diterima Yesaya bin Amos dalam penglihatan tentang Yehuda dan Yerusalem.
Akan terjadi pada hari-hari terakhir:
TUHAN melawan bangsa yang congkak (Yesaya 2:6-22)
melawan semua pohon tarbantin di Basan;
Nabi Yesaya bin Amos menggambarkan penglihatannya tentang Yehuda dan Yerusalem, di akhir zaman.
Pada bagian pertama, frasa “akan terjadi pada hari-hari terakhir” dalam konteks Perjanjian Lama sering dipahami sebagai gambaran masa penantian akan penggenapan nubuat, bukan semata-mata akhir dunia secara kosmis. Dalam kitab Yesaya sendiri, poin ini dipertegas oleh nubuat nabi-nabi lain seperti Mikha yang menegaskan bahwa pada “hari-hari terakhir” Tuhan akan menegakkan kedamaian sejati bagi seluruh bangsa (Mikha 4:1–3). Dalam Perjanjian Baru, ungkapan serupa dipakai untuk menunjuk pada kedatangan Mesias dan pembentukan jemaat yang baru (Kisah Para Rasul 2:17; Ibrani 1:2), sehingga “hari-hari terakhir” mengacu pada era eskatologis di mana Tuhan mulai menegakkan kerajaan-Nya secara nyata.
Sion pada zaman Perjanjian Lama awalnya mengacu pada bukit di Yerusalem yang disebut Gunung Moriah, tempat Daud merebut kota dari orang Yebus dan memperkenalkan pusat ibadah ke situ; lambat laun Sion menjadi simbol kehadiran Allah di tengah umat-Nya, sekaligus gambaran kota surgawi dalam penglihatan nabi (Mazmur 48:2; Yesaya 63:18). Oleh karena itu Sion tidak hanya menunjukkan lokasi geografis, melainkan juga janji keselamatan, pertolongan, dan tempat pertemuan antara Allah dan manusia di masa depan.
Istilah “gunung tempat Rumah TUHAN” merujuk pada Gunung Sion yang dipakai sebagai pangkal pembangunan Bait Suci pada zaman Salomo (1 Raja-raja 6:1–2). Meskipun secara administratif sama-sama menunjuk kota Yerusalem, penekanan teks Yesaya pada “gunung” menunjukkan keunggulan status rohani–alamiah Tuhan yang ‘menjulang melebihi puncak-puncak gunung’, berbeda dengan gambaran kota sekadar benteng politik atau pusat perdagangan.
Perkataan “Sungguh, telah Kaubuang umat-Mu, keturunan Yakub” (ayat 6) menggambarkan penghakiman Allah atas kekafiran dan ketidaktaatan Israel. Secara historis hal itu tergenapi ketika bangsa Israel terutama Kerajaan Utara (Israel) dan kemudian Kerajaan Selatan (Yehuda) diangkut ke pembuangan Babel pada abad ke-6 SM karena berhala dan praktik sihir (2 Raja-raja 17:6–23; 2 Tawarikh 36:15–21), sehingga pembuangan itu merupakan bukti nyata bahwa Allah membuang umat-Nya karena penolakan terhadap keunikan penyembahan kepada-Nya.
Bukti sejarah untuk ayat 7-8 ini dapat dilihat dari masa kejayaan Kerajaan Yehuda. Raja-raja seperti Uzia dan Yotam membuat Yehuda sangat makmur, dengan banyak emas, perak, kuda, dan kereta perang. Tapi kekayaan ini seringkali didapat dari hubungan dengan bangsa lain yang membuat mereka terjebak dalam penyembahan berhala. Contohnya Raja Ahas yang bahkan meniru mezbah berhala dari Damsyik. Kitab Raja-raja dan Tawarikh mencatat betapa luasnya penyembahan berhala di Yehuda saat itu, menunjukkan bahwa mereka lebih percaya pada harta dan kekuatan militer daripada Tuhan. Ketika dikatakan mereka "berjabat tangan dengan orang asing", ini berarti mereka mencari bantuan dari negara lain seperti Asyur, daripada mengandalkan Tuhan. Aliansi semacam itu seringkali berarti mereka harus menyembah dewa-dewa bangsa lain.
Gambaran tentang negeri yang dipenuhi tenung dan sihir serta “berjabat tangan dengan orang asing” merefleksikan praktik-praktik okultisme Mesir, Moab, Asyur, dan Filistin yang mengalir masuk ke Israel—sesuai catatan Raja Hizkia dan Yosia yang memberantas praktik-praktik itu (2 Raja-raja 18:4; 23:4–5). Bukti arkeologis berupa prasasti Asyur dan peninggalan ritual Mesir menguatkan bahwa pada abad-abad sebelum pembuangan, pengaruh budaya asing merasuki kehidupan keagamaan Israel.
Istilah “ketakutan akan TUHAN” (ayat 9–21) bukan sekadar rasa takut akan hukuman, melainkan gemetar di hadirat kekudusan-Nya yang mahakuasa. Iklim ketakutan ini dibandingkan dengan gempa dahsyat dan suara pergolakan langit (bandingkan Yoel 3:16; Hagai 2:6–7), serta citra manusia berlari ke gua batu mengingat peristiwa air bah (Kejadian 7:11) dan penyataan di Gunung Sinai yang menimbulkan kecemasan (Keluaran 19:16–19). Dengan demikian, ketakutan itu memaksa manusia menghentikan kesombongan dan berharap hanya pada Allah yang Maha Tinggi.
Pada ayat 22, seruan “Berhentilah bersandar pada manusia” sejalan dengan nasihat dalam Mazmur 146:3 mengenai kekosongan mengandalkan manusia, dan diulang dalam Yeremia 17:5–8 tentang orang yang menaruh harap pada TUHAN akan ditegakkan seperti pohon yang hidup di pinggir air. Pesan ini mengajak umat untuk memusatkan kepercayaan pada Allah semata, bukan kekuatan militer, politik, atau ekonomi manusiawi.
Selain itu, kitab ini menegaskan tema universalitas penghakiman dan keselamatan: Tuhan berdaulat atas bangsa-bangsa, memulihkan keruntuhan moral dengan menegakkan perdamaian abadi, serta menuntun manusia meninggalkan cara hidup berperang dan berhala. Paralel dengan nubuatan Yesaya, Perjanjian Baru menampilkan Yesus sebagai Tuhan damai sejahtera yang menyejukkan hati manusia (Yesaya 9:6; Yohanes 14:27), menggenapi penglihatan nubuat lama.
Dalam kesimpulan, pasal ini menghadirkan gambaran masa depan di mana Allah sendiri menjadi pusat tatanan dunia, menarik manusia dari segala bangsa untuk belajar jalan-Nya—jalan damai, keadilan, dan kebenaran. Sementara itu, peringatan tentang keangkuhan manusia yang dibuang dan ditundukkan menunjukkan bahwa ketergantungan pada kekuatan duniawi hanya membawa kehancuran. Dalam situasi global mencekam dengan konflik dan peperangan di berbagai belahan dunia, nubuat ini meneguhkan pengharapan bahwa Allah akan menuntun yang rendah hati menuju perdamaian abadi, sekaligus mengingatkan setiap orang untuk menempatkan harapan, iman, dan kepercayaan penuh han ya kepada-Nya.
Ia akan menjadi hakim antara banyak bangsa,
dan memutuskan perkara bagi
bangsa-bangsa kuat yang jauh letaknya;
Mikha 4:3a
Amin.
Komentar
Posting Komentar